Oleh : Titus Teguh
Basuki, S.T., M.Sc.
Fenomena Disrupsi
Beberapa
waktu belakangan ini, sebelum diguncang tragedi kemanusiaan melalui teror di
Surabaya dan beberapa tempat lainnya, bangsa Indonesia juga dihebohkan dengan sebuah
situasi yang bernama disrupsi. Disrupsi ini pun menjadi topik yang hangat
diperbincangkan. Disrupsi yang populer beberapa waktu belakangan ini sebenarnya
sudah pernah dipublikasikan oleh seorang guru besar di Harvard Business School, Clayton M. Christensen pada tahun 1997
dengan Disruption Innovation Theory
yang dikemukan olehnya. Lalu mengapa baru belakangan ini, setelah kurun waktu 20
tahunan, orang tertarik untuk membahasnya? Bisa jadi karena dampak yang
ditimbulkan dari disruption itu
begitu luas (masif) dirasakan oleh semua kalangan dan dari berbagai bidang,
mulai sektor ekonomi, pendidikan, perdagangan, bahkan sampai merambah pada
birokrasi dan pemerintahan.
Kita
tentunya masih ingat akan kehadiran sistem operasi Android yang kemudian
menggeser OS Symbian (khususnya pada ponsel-ponsel Nokia) yang telah lebih dulu
berjaya. Saat ini hampir semua perangkat smartphone
berplatform Android. Lalu di dunia perhotelan hadirlah jaringan Airbnb yang
memungkinkan
pengguna mendaftarkan atau menyewa properti untuk digunakan dalam jangka pendek dan menyediakan jaringan penginapan di lebih dari 100 negara tanpa
memiliki satu pun gedung hotel atau penginapan. Kehadiran penyedia jasa
transportasi berbasis aplikasi di Indonesia seperti Go-Jek menimbulkan
perubahan yang cukup terasa dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka mampu
melayani kebutuhan calon konsumen yang tersebar luas di seantero nusantara
dengan ratusan ribu armada bahkan mungkin jutaan dan menyediakan aneka
kebutuhan, seperti: pesan makanan, jasa pijat, jasa pembersihan rumah atau
kamar (cleaning service), jasa angkut
pindahan, jasa antar barang. Permintaan yang banyak seperti ini hampir tidak
bisa terlayani oleh pelaku jasa transportasi konvensional, seperti jasa ojek
misalnya. Disisi lain masyarakat calon pengguna (konsumen) merasa dimudahkan. Namun
disisi lain, para sopir angkot dan metromini menurun drastis penghasilannya,
timbul kontra dari para tukang ojek pangkalan, bahkan penyedia jasa taksi
konvensional dan para pengemudinya pun turut terdampak. Di bidang pemasaran,
muncul penyedia jasa jaringan pasar daring seperti Bukalapak dan Tokopedia.
Mereka mempertemukan para pelaku UMKM Indonesia maupun penyedia barang/jasa
lainnya yang selama ini merasa kesulitan memasarkan produk dengan calon
konsumen.
Dari ilustrasi-ilustrasi di atas,
disruption terjadi ketika suatu pihak
hadir menawarkan layanan yang lebih praktis dengan harga yang lebih terjangkau dan
rendah dari yang
tersedia saat ini, sehingga masyarakat calon pengguna banyak yang beralih ke layanan baru tersebut (Purnawati,
2017). Bisa dikatakan
bahwa disruption merupakan inovasi. Inovasi
yang akan menggantikan sistem lama dengan cara-cara baru, menghasilkan sesuatu
yang baru dan lebih efisien, juga lebih bermanfaat. (Kasali, 2017)
Disrupsi pada Pemerintahan
Bagaimana
dengan birokrasi dan institusi di dalamnya menyikapi disrupsi? Disrupsi juga
pada akhirnya menyentuh penyelenggara pemerintahan. Disrupsi sendiri memiliki
dampak ganda, satu sisi memberikan kontribusi positif pada pemenuhan kebutuhan
dari berbagai aspek, di sisi lain memiliki dampak negatif, seperti ilustrasi
sebelumnya. Masyarakat (dan stakeholder
lainnya) yang siap dengan prasyarat-prasyaratnya (era disrupsi) dan mampu
mengikutinya akan menerima banyak manfaat, tetapi yang kurang siap maka pun
akan tertekan, bahkan tereliminasi (seperti di panggung AFI Indosiar dulu). Demikian
pula akan terjadi pada lembaga pemerintahan jika lamban meresponnya. Seperti
apa yang dikhawatirkan Pratama (2017):”Masyarakat bisa celaka
berpuluh-puluh kali jika pemerintahan tak peka pada perubahan, pemerintahan
seharusnya tidak meninggalkan pihak manapun dalam pembangunan. Padahal di
Indonesia sendiri pun, pemerintahan memang sudah dicap lambat, ketika sudah
terjadi disrupsi baru tergopoh-gopoh menelurkan regulasi telat, persis seperti
kritik tajam Rhenald Kasali, bahkan di Republik yang demokratis seperti saat
ini masih sering terjadi eksekusi kebijakan publik ternyata tanpa dialog
mendalam, ketika diprotes buru-buru dicabut.”
Pratama dalam tulisannya “Menungggu Disrupsi Pemerintahan” yang dimuat
di Geotimes mengungkapkan: Pemerintahan dunia semakin dinamis dengan hampir
tidak adanya paradigma dominan, semua harus mempelajari perubahan mereka
sendiri. Negara-negara yang berubah secara kontekstual tanpa
terseret-seret resep palsu terbukti dapat survive di era saat
ini. Negara kesejahteraan dengan Nordic Model (Finlandia,
Swedia, Denmark, Norwegia dan Islandia) mengalami pasang surut perubahan untuk
sampai dalam pencapaian terbaik saat ini, syarat mereka untuk mencapai
kesejahteraan adalah percaya pada diri
sendiri untuk melakukan perubahan. Semua sepakat harus berubah bahkan China
yang dikenal ultra konservatif bahkan mampu merespon perubahan dengan berbagai
kebijakan yang inovatif (Jing & Osborne, 2017 dalam Pratama, 2017).
Kita, Bangsa Indonesia tengah berproses menuju perubahan birokrasi yang
didorong berbasis merit dengan berbagai metode meritokrasinya. Demikian juga berbagai
inovasi tata kelola pemerintahan maupun inovasi pelayanan publik ditelurkan
oleh berbagai pihak mulai pusat dan daerah. Seperti Pemerintah Daerah Kabupaten
Banyuwangi dengan aplikasi e-budgeting
(salah satunya memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam mengakses
proyek-proyek yang tersedia di Pemda Kabupaten Banyuwangi) dan Smart Kampung-nya (yang mengurangi mata
rantai panjang di birokrasi dalam hal menjalankan proyek-proyek skala desa),
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan sistem penganggaran e-bugeting dan aplikasi Qlue,
Kota Surabaya sebagai pelopor e-Government
sejak 2002, Kota Bandung yang digawangi Kang Emil dengan konsep Smart City-nya, Kota Yogyakarta yang
mengembangkan e-office, dan banyak
daerah berlomba mengembangkan (menerapkan) tata kelola pemerintahan dan
pelayanan publik berbasis teknologi informasi. Di tingkat kementerian, salah
satu yang dilakukan di Kementerian Dalam Negeri diantaranya mulai menerapkan
sistem pelayanan satu pintu terkait penerimaan tamu-tamu yang hendak konsultasi
di kantor pusat (Jl. Medan Merdeka Utara), kemudian yang terbaru adalah aplikasi
SiPADES (Sistem Pengelolaan Aset Desa) oleh Ditjen Bina Pemdes Kemendagri yang
baru di-soft launching awal Mei 2018.
Inovasi-inovasi yang dihadirkan oleh pemerintah baik pusat, daerah
bahkan sampai desa, memanglah penting tetapi belumlah cukup. Menarik apa yang Pratama
(2017) ungkapkan di situs Geotimes yang menyoroti disrupsi dari sisi kebijakan
publik, bahwa perlu prakondisi lain yang mendorong disrupsi pemerintahan agar rakyat
tak menunggu terlalu lama. Pertama, Satu
Pikiran Pemerintahan. Memang tak layak betul jika eksekutif dan
legislatif adem ayem untuk sebuah kebijakan publik akan tetapi terlalu banyak
perdebatan tanpa visi yang clear membuat kebijakan publik
hanya jadi ampas. Semua elemen pemerintahan harus sepakat pada visi yang sama
untuk kesejahteraan bersama, ingat musyawarah dan konsensus sebagai nilai
bangsa. Kedua, Satu
Pemerataan Pemerintahan. Republik jelas butuh
standar yang sama, sudah ada standar yang tidak berlaku sama, ada yang sangat
mampu melaksanakan hingga sama sekali tidak mampu. Standar Pelayanan Minimal
dan Standar Pelayanan Publik yang ada sekarang pun sifatnya bukan untuk
memeratakan akan tetapi hanya untuk mematuhi aturan. Belum lagi dominasi kue
ekonomi, pemerintah harus ikut campur dalam membabat kesenjangan untuk
memeratakan ekonomi. Ketiga, Satu
Gerbang Pemerintahan. Pemerintahan sudah dikenal fragmentasinya yang
tinggi, beda lembaga beda administrasi, miskin komunikasi dan koordinasi.
Akibatnya warga terabaikan pelayanan publiknya. Perlu hadirnya Negara dalam
sebuah gerbang yang sama dengan integrasi pelayanan publik. Contoh kecil perlu
mengulang kembali program integrasi data kependudukan kita dengan satu kartu
yang sama yang dapat diisi dengan berbagai kepentingan pelayanan publik asalkan
tanpa terulangnya mega korupsi.
Bagaimana sebaiknya Balai Pemerintahan Desa Yogyakarta
merespon disrupsi? (Sebuah alternatif gagasan)
Tiga
prakondisi di atas bisa menjadi pijakan awal Balai Pemerintahan Desa Yogyakarta
dalam merespon disrupsi yang mau tidak mau menjadi sesuatu yang tidak
terhindarkan. Lantas bagaimana cara menghadapi era disrupsi
yang (akan selalu) terjadi ini? Ada sebuah pendapat bahwa salah satu kuncinya
adalah adaptasi, karena disrupsi itu
merupakan suatu perubahan, dan tentunya kemampuan menyesuaikan dirilah yang
dapat menjadi pegangannya. Apa yang disampaikan Hidayah (2018) yang
mengungkapkan 7 (tujuh) cara yang dapat dilakukan dalam menghadapi era disrupsi
ini agar bisnis tidak kehilangan pelanggannya atau bahkan mati, kita (Balai
Pemerintahan Desa Yogyakarta) dapat mengadopsinya menyesuaikan dengan tugas
fungsi yang kita emban.
1.
Trend Watching (Melihat Tren)
Trend Watching yaitu kegiatan memantau
perubahan trend yang terjadi di lingkungan, khususnya terkait
dengan pengelolaan/manajemen pemerintahan desa dan bidang diklat bagi aparat
pemerintahan desa yang menjadi tugas fungsi Balai Pemdes Yogyakarta. Dengan selalu
memantau lingkungan, maka akan selalu mengetahui perubahan-perubahan yang
sedang dan akan terjadi sehingga gejala-gejala timbulnya disrupsi akan
terdeteksi secara dini. Informasi dari trend watching dapat
digunakan untuk melakukan adaptasi dan antisipasi, sehingga efek dari disrupsi
dapat diminimalisir, atau bahkan bisa jadi agent of disruption. Tren saat ini adalah pemanfaaatan
teknologi informasi di segala bidang. Internet kini masuk ke berbagai lini
kehidupan masyarakat, mengisi celah kehidupan kita.
2.
Research (Riset)
Langkah selanjutnya adalah melakukan riset. Agar trend watching yang
dilakukan hasilnya dapat lebih meyakinkan, maka harus dilakukan dengan
pendekatan riset. Karena dengan riset informasi yang didapat dapat
dipertanggungjawabkan mengenai kesahihan dan keabsahannya, karena dilakukan
secara ilmiah. Oleh karena itu bukanlah tabu bagi instansi pemerintah seperti
Balai Pemerintahan Desa Yogyakarta di era ini harus memiliki fungsi riset (yang
biasa dinamakan R&D, Research & Development)
atau paling tidak melakukan fungsi riset tersebut secara internal, konstan dan
dijalankan bukan karena formalitas semata. Riset sederhana yang dilakukan
sebenarnya bisa mendasarkan pada proses dan hasil kegiatan-kegiatan yang
dilaksanakan seperti Identifikasi Kebutuhan Pelatihan dan Studi Pasca
Pelatihan, tinggal bagaimana pelaksanaannya dipertajam kembali.
3.
Management (Pengelolaan)
Cara yang ketiga yaitu selalu melakukan pengelolaan terhadap segala
sesuatunya yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan fungsi. Pengelolaan mulai
dari tahap perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan sampai pada evaluasi. Proses
manajemen ini bisa mendasarkan pada hasil riset yang dilakukan. Dari sana bisa
terpetakan hal-hal yang harus direncanakan guna mendukung pelaksanaan tusi,
baik dari sisi penganggaran maupun dukungan sumber daya lainnya (manusia,
sistem, dsb.). Pengelolaan di sini pun ada baiknya menyentuh disrupsi itu
sendiri. Bisa dikatakan bahwa disrupsi itu harus dikelola, disini dapat
difokuskan kepada disruption management yang isinya bagaimana
disrupsi diidentifikasi, dianalisis dan dievaluasi, sehingga program dan
kegiatan yang dijalankan dapat memiliki ruang dan waktu untuk mengantisipasi
gejala disrupsi yang akan terjadi.
4.
Inovation
Cara menghadapi era disrupsi yang ke-empat adalah melakukan inovasi,
yaitu membuat terobosan-terobosan baru atau penyesuaian-penyesuaian pada pola
lama agar lebih sesuai dengan era dimana masa disrupsi terjadi. Inovasi dapat
dilakukan jika peristiwa tersebut sudah terlanjur terjadi dan dapat berhasil
pada yang mau melakukan perubahan.
Sebagai pemantik ide, dewasa ini telah berkembang platform di dunia
pendidikan dan pelatihan berbasis online atau dikenal dengan istilah MOOC (Massive Open Online Course). Sebagai
contoh IndonesiaX yang melayani kebutuhan para pembelajar melalui kursus gratis
secara online setiap hari. Topik-topik yang ditawarkan mulai dari
kewirausahaan, membeli dan mengelola saham, broadcasting,
kepemimpinan, teknologi informasi, komunikasi, dsb. Dengan pendekatan MOOC,
IndonesiaX dikunjungi oleh mereka yang ingin meningkatkan kompetensi, belajar
kembali menjadi kebutuhan. (Kasali, 2017)
5.
Switching
Cara menghadapi era disrupsi yang ke-lima adalah switching atau
memutar haluan. Di dunia bisnis, cara ini dapat dilakukan jika bisnis yang ada,
tidak lagi bisa diotak-atik atau dimodifikasi, maka solusinya adalah harus
berani putar haluan atau mematikan produk yang sudah dimiliki. Contohnya PT. Telkom
yang selalu berani untuk mematikan atau mengkanibalisasi produknya sendiri
seperti telepon kabel yang diganti dengan nir-kabel dll. Memutar haluan
membutuhkan perjuangan yang besar, tinggal pelakunya berkehendak atau tidak.
6.
Partnership
Cara menghadapi era disrupsi yang ke-enam yaitu melakukan strategi partnership.
Era disrupsi pada masa ini membuat bidang, tidak hanya bisnis sulit untuk
bertempur sendiri karena persaingan sudah sangat kompleks dan proses bisnis
sudah ter-inklusi. Oleh karena itu salah satub solusinya adalah dengan
melakukan kolaborasi dan aliansi-aliansi strategis mulai dari sisi input sampai output dalam supply
chain agar (bisnis) menjadi lebih efektif dan efisien. Dalam konteks
Balai Pemdes Yogyakarta, strategi ini dapat dilakukan baik dengan berkolaborasi
dengan pusat (sudah semestinya dan sudah terjadi, tinggal terus dimantapkan),
maupun bisa berkolaborasi dengan lembaga non pemerintah yang kompeten di
bidangnya, khususnya yang konsen dengan dinamika yang terjadi di desa.
7.
Change Management
Cara menghadapi era disrupsi yang terakhir adalah dengan melakukan change
management. Hal ini dapat dilakukan untuk merubah pola pikir dan kesadaran
dari elemen sumber daya manusia dalam organisasi agar dapat bahu-membahu
melakukan perubahan. Karena efek disrupsi itu dapat merubah segala hal tak
terkecuali pada budaya organisasi dalam melakukan proses bisnisnya. Oleh karena
itu solusinya adalah organisasi harus dapat berubah menyesuaikan budaya
organisasi di era disrupsi yang ada.
Pada
akhirnya semua itu berpulang pada kita (masing-masing) dalam merespon era
disrupsi ini. Seperti apa yang disampaikan Prof. Kasali (2017): “Dan, jika
dunia kita sekarang telah berubah, di manakah kita? Masihkah kita hidup pada
masa lalu dan bertengkar? Change your mindset before you change others! Sebenarnya,
masalah kita ada di benak kita sendiri”. Sebagai ASN sekaligus warga
negara yang baik, kita harus berpartisipasi dengan terbiasa dengan perubahan,
yaitu adaptif terhadap perubahan dan jangan alergi dengan perubahan. Semoga…..
Referensi
Hidayah, Nurdin. 2018, Adaptasi atau Mati!! 7 Cara Bisnis Menghadapi Era Disrupsi. https://pemasaranpariwisata.com/2018/03/09/cara-menghadapi-era-disrupsi/. published: 9
Maret 2018, diakses Kamis,
24 Mei 2018, pukul 11.30 WIB.
Kasali, Rhenald. 2017, Disruption.
PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Pratama, Rizki M. 2017, Menunggu Disrupsi Pemerintahan. https://geotimes.co.id/opini/menunggu-disrupsi-pemerintahan/ published: Minggu, 24 September 2017,
diunduh Kamis, 24 Mei 2018, pukul 11.55 WIB.
Purnawati, Riska.
2017, Memahami Fenomena Disruption di Era Transformasi Digital. https://id.linkedin.com/pulse/mencoba-memahami-disruption-di-era-transformasi-riska-purnawati. published: 16 September
2017, diakses Kamis, 24 Mei 2018, pukul
11.00 WIB.
Comments
Post a Comment