Skip to main content

Disrupsi Di Tengah Pandemi


DISRUPSI DI TENGAH PANDEMI,
BAGAIMANA BALAI PEMDES JOGJA MENYIKAPINYA?

(Titus Teguh Basuki, S.T., M.Sc.)
JFU pada Seksi Pelatihan Kelembagaan dan Kerja Sama Desa


Disrupsi Covid-19
Di penghujung tahun 2019, dunia mulai disibukkan dengan munculnya penyakit yang disebabkan oleh sebuah virus yang bernama Corona atau dikenal juga dengan nama Covid-19 (Corona virus disease-19).  Ya, wabah ini muncul pertama kali dilaporkan di Provinsi Wuhan, sebuah wilayah di Negeri Tirai Bambu. Virus ini kemudian menyebar ke penjuru bumi, hingga akhirnya WHO menetapkannya sebagai pandemi (wabah yang berjangkit serempak di mana-mana, meliputi daerah geografi yang luas-KBBI daring, 2020). Menurut data WHO sampai dengan tanggal 24 Mei 2020 secara global terkonfirmasi 5.204.508 kasus positif dengan jumlah kematian 337.687 kasus yang melanda di 216 negara di dunia (Situation Report WHO, 2020). Hal ini menunjukkan betapa virus ini dengan cepat meluas ke hampir seluruh negara di dunia. Demikian pula Indonesia tak luput dari keganasan virus yang dikenal dengan nama lain SARS-Cov-2 ini. Sampai dengan tanggal 24 Mei 2020 pukul 12.00 WIB, terkonfirmasi total kasus positif Covid-19 sebanyak 22.271 kasus dan jumlah kematian sebanyak 1.372 kasus (covid19.go.id, 2020) dengan episentrumnya di Pulau Jawa.
Sudah kurang lebih 3 bulan ini Indonesia dilanda pandemi Covid-19 yang mengharuskan sebagian besar dari kita berdiam di rumah, sesuai anjuran Bapak Presiden Joko Widodo yakni bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan beribadah dari rumah. Pemerintah pun kemudian mengeluarkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang tertuang dalam PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan Penanganan Covid-19 dimana implementasinya dengan memberlakukan kebijakan physical and social distancing (pembatasan jarak fisik dan sosial) yang mewajibkan hampir semua kegiatan dilakukan dari rumah, menggalakkan penggunaan masker, serta pola hidup bersih dan sehat. Imbas dari kebijakan ini sebagian besar kegiatan usaha (ekonomi), kegiatan pendidikan, sampai pemerintahan dilakukan dari rumah dengan memanfaatkan teknologi informasi. Ya, terjadi sebuah perubahan yang tidak hanya menyentuh kegiatan sosial ekonomi warga, namun juga menuju pada perubahan habit atau pola hidup masyarakat. Bisa dikatakan bahwa pandemi Covid-19 ini semakin “mempercepat” perubahan (disrupsi) di berbagai sisi kehidupan.
Disrupsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan: hal tercabut dari akarnya. Bila diterjemahkan dalam bahasa sehari-hari maka dapat diartikan sebagai terjadinya perubahan yang mendasar atau fundamental dalam berbagai sisi kehidupan manusia. Kondisi seperti inilah yang sepertinya sedang terjadi di tengah pandemi Covid-19 sekarang. Disrupsi atau perubahan mendasar (bisa juga terjadi secara drastis) karena wabah ini mau tidak mau memaksa masyarakat, pelaku usaha, dan pemerintah untuk beradaptasi dengan melakukan berbagai inovasi (pembaharuan; pengenalan hal-hal baru yang berbeda dari yang sudah ada sebelumnya). Dapat kita lihat diantaranya mulai dari sistem pembelajaran jarak jauh (e-learning) dan pelayanan publik secara online, pengembangan survei-survei atau sensus online, penggunaan web/virtual meeting, pengembangan telemedicine (pemanfaatan teknologi telekomunikasi untuk memberikan informasi dan pelayanan medis jarak jauh), implementasi chatbot (layanan obrolan tokoh virtual dengan kecerdasan buatan atau artificial intelelligent) untuk pelayanan publik, hingga persidangan secara online.
Sistem online saat ini memang menjadi pilihan utama untuk berbagai kegiatan kita, dan sepertinya sebagian besar masyarakat kita mulai terbiasa (atau mungkin terpaksa) untuk melakukan hampir semua kegiatannya secara online. Covid-19 pun pada akhirnya “memaksa” perusahaan dan instansi pemerintah untuk mengkaryakan sebagian atau bahkan seluruh pegawainya dari rumah (work from home) atau bekerja di kantor dengan sistem shift. Hal yang sama terjadi pada dunia pendidikan diaman semua sekolah dan perguruan tinggi melakukan sistem pembelajaran jarak jauh (pjj). Pembatasan atau pengurangan kegiatan masyarakat dan aparat pemerintah di instansi pemerintahan mau tidak mau akan berdampak pada kegiatan pelayanan publik. Dengan kondisi seperti ini, ke depan flexi work time and place (berkerja dari manapun dan waktu yang fleksibel) dan online learning merupakan pilihan yang (harus) dapat diadopsi.
Tentunya kita masih ingat bagaimana Badan Pusat Statistik berinisiatif untuk mulai melakukan Sensus Penduduk secara online yang dilakukan sebelum wabah Covid-19 ini meluas di Indonesia (yang bisa jadi menjadi respon dari BPS, di saat wabah melanda kemudian sensus online ini dilaksanakan), merupakan salah satu langkah baik pemerintah dalam melakukan proses perubahan atau tranformasi pengumpulan data strategis secara digital. Ke depan, kegiatan strategis berupa pengumpulan data statistik yang dilakukan door-to-door sudah mulai harus dikurangi dan diganti dengan pendekatan survei secara online guna meningkatkan tingkat responsi dari responden dan memberikan hasil yang lebih cepat dan diharapkan akurat. Tapi hal itu bukan tanpa tantangan, sebab kesiapan infrastruktur, metodologi serta kerjasama masyarakat dan pemerintah sangat berperan.
Salah satu bentuk disrupsi inovasi teknologi yaitu chatbot. Pernahkah kita mendengar atau mungkin sudah mengenalnya? Menurut Oxford Dictionary, chatbot is a computer program designed to simulate conversation with human users, especially over the internet. Dalam Bahasa Indonesia, chatbot adalah program komputer yang dirancang untuk mensimulasikan percakapan dengan pengguna manusia, khususnya melalui internet. Rupanya chatbot telah lama ada, mulai dikembangkan sekitar dekade 1960-an. Di awal kemunculannya, chatbot benar-benar terkesan kaku seperti robot. Namun semakin ke sini, berkat sentuhan artificial intelligent (ai), chatbot memiliki kemampuan dengan “rasa” percakapan yang lebih natural.
Di dunia usaha/bisnis, chatbot dinilai begitu menguntungkan perusahaan. Pasalnya, chatbot dapat mengeliminasi tugas rutin dan pemrosesan simultan dari beberapa permintaan pengguna. Selain itu respon dari chatbot begitu cepat sehingga mampu mendapatkan loyalitas pelanggan (www.wartaekonomi.co.id, 2019). Sebenarnya implementasi chatbot ini sudah banyak diadopsi oleh beberapa perusahaan di Indonesia. Siapa saja mereka? Telkomsel. Masih ingat dengan suara mbak Veronika? Pada Agustus 2017, Telkomsel menggandeng Kata.ai untuk mengembangkannya. Lewat Veronika, Telkomsel mampu melayani pelanggan melalui chat di Facebook Messenger, LINE, dan Telegram. Selanjutnya XL Axiata yang memberi nama chatbot-nya Maya. BCA dengan Virtual assistant Chat Banking BCA (Vira), BRI dengan Smart BRI New Assistant (Sabrina), Mandiri yang mengandalkan Mita (Mandiri intelligence Assistant). Kemudian, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di situsnya www.covid19.go.id menyediakan fitur Tanya BOT!
Di dunia kesehatan, telemedicine bisa menjadi pilihan ketika pasien dapat berkonsultasi ke dokter tanpa harus datang langsung, antri dan bertemu dokter di klinik atau rumah sakit yang secara tidak langsung akan mengurangi resiko tertular penyakit lainnya. Dengan integrasi AI dan telehealth, pasien dan dokter akan terbantu dalam hal ketepatan diagnosis berdasarkan berbagai hasil lab, radiologi, MRI dan genomics (berkaitan dengan genom/gen), serta tindakan dan pengobatan yang diperlukan. Kemenkes sejatinya mulai merintis pada tahun 2017 kemudian pada tahun 2019 dikembangkan teknologi telemedis terintegrasi dengan nama Temenin (Telemedicine Indonesia) yang dapat diakses di www.temenin.kemkes.go.id . Dari unsur swasta sendiri sudah ada beberapa aplikasi serupa seperti Alodokter, KlikDokter, Halodoc, SehatQ, dan lain-lain.
Respon Balai Pemdes Yogyakarta
Lantas bagaimana menghadapi era disrupsi yang (akan selalu) terjadi ini? Ada sebuah pendapat bahwa salah satu kuncinya adalah adaptasi, karena disrupsi itu merupakan suatu perubahan, dan tentunya kemampuan menyesuaikan dirilah yang dapat menjadi pegangannya. Apa yang disampaikan Hidayah (2018) yang mengungkapkan 7 (tujuh) cara yang dapat dilakukan dalam menghadapi era disrupsi ini agar bisnis tidak kehilangan pelanggannya atau bahkan mati, kita (Balai Pemerintahan Desa Yogyakarta) tentunya dapat mengadopsinya menyesuaikan dengan tugas fungsi yang kita emban.
1.    Trend Watching (Melihat Tren)
Trend Watching yaitu kegiatan memantau perubahan trend yang terjadi di lingkungan, khususnya terkait dengan pengelolaan/manajemen pemerintahan desa dan bidang diklat bagi aparat pemerintahan desa yang menjadi tugas fungsi Balai Pemdes Yogyakarta. Dengan selalu memantau lingkungan, maka akan selalu mengetahui perubahan-perubahan yang sedang dan akan terjadi sehingga gejala-gejala timbulnya disrupsi akan terdeteksi secara dini. Informasi dari trend watching dapat digunakan untuk melakukan adaptasi dan antisipasi, sehingga efek dari disrupsi dapat diminimalisir, atau bahkan bisa jadi agent of disruption. Tren saat ini adalah pemanfaaatan teknologi informasi di segala bidang. Internet kini masuk ke berbagai lini kehidupan masyarakat, mengisi celah kehidupan kita.
2.    Research (Riset)
Langkah selanjutnya adalah melakukan riset. Agar trend watching yang dilakukan hasilnya dapat lebih meyakinkan, maka harus dilakukan dengan pendekatan riset. Karena dengan riset, informasi yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan mengenai kesahihan dan keabsahannya, karena dilakukan secara ilmiah. Oleh karena itu bukanlah tabu bagi instansi pemerintah seperti Balai Pemerintahan Desa Yogyakarta di era ini harus memiliki fungsi riset (yang biasa dinamakan R&D, Research & Development) atau paling tidak melakukan fungsi riset tersebut secara internal, konstan dan dijalankan bukan karena formalitas semata. Riset sederhana yang dilakukan sebenarnya bisa mendasarkan pada proses dan hasil kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan seperti Identifikasi Kebutuhan Pelatihan dan Studi Pasca Pelatihan tinggal bagaimana pelaksanaannya dipertajam kembali agar memperoleh hasil yang optimal.
3.    Management (Pengelolaan)
Cara yang ketiga yaitu selalu melakukan pengelolaan terhadap segala sesuatunya yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan fungsi. Pengelolaan mulai dari tahap perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan sampai pada evaluasi. Proses manajemen ini bisa mendasarkan pada hasil riset yang dilakukan. Dari sana bisa terpetakan hal-hal yang harus direncanakan guna mendukung pelaksanaan tusi, baik dari sisi penganggaran maupun dukungan sumber daya lainnya (manusia, sistem, dsb.). Pengelolaan di sini pun ada baiknya menyentuh disrupsi itu sendiri. Bisa dikatakan bahwa disrupsi itu harus dikelola, disini dapat difokuskan kepada disruption management yang isinya bagaimana disrupsi diidentifikasi, dianalisis dan dievaluasi, sehingga program dan kegiatan yang dijalankan dapat memiliki ruang dan waktu untuk mengantisipasi gejala disrupsi yang akan terjadi.
4.     Inovation (Inovasi)
Cara menghadapi era disrupsi yang keempat adalah melakukan inovasi, yaitu membuat terobosan-terobosan baru atau penyesuaian-penyesuaian pada pola lama agar lebih sesuai dengan era dimana masa disrupsi terjadi. Inovasi dapat dilakukan jika peristiwa tersebut sudah terlanjur terjadi dan dapat berhasil pada yang mau melakukan perubahan. Sebagai pemantik ide, dewasa ini telah berkembang platform di dunia pendidikan dan pelatihan berbasis online atau dikenal dengan istilah MOOC (Massive Open Online Course). Sebagai contoh IndonesiaX yang melayani kebutuhan para pembelajar melalui kursus gratis secara online setiap hari. Topik-topik yang ditawarkan mulai dari kewirausahaan, membeli dan mengelola saham, broadcasting, kepemimpinan, teknologi informasi, komunikasi, dsb. Dengan pendekatan MOOC, IndonesiaX dikunjungi oleh mereka yang ingin meningkatkan kompetensi, belajar kembali menjadi kebutuhan (Kasali, 2017).
Pada tahun 2019 ada sebuah peluang yang baik bagi Balai Pemdes Yogyakarta bekerjasama dengan sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta untuk merintis pembelajaran secara online yang diperuntukkan bagi aparatur pemerintah desa. Hal ini bisa menjadi langkah awal untuk terus dikembangkan sebagai salah satu strategi dan kontribusi Balai Pemdes Yogyakarta mewujudkan tata kelola pemerintahan (desa) yang baik. Inovasi kecil/sederhana pun sebenarnya dapat dilakukan misalnya dengan mulai merintis membangun pengelolaan administrasi kegiatan pelatihan yang masih manual dengan pengelolaan administrasi yang memanfaatkan teknologi untuk mengelola data base dan paperless.
5.    Switching (Memutar haluan)
Cara menghadapi era disrupsi yang kelima adalah switching atau memutar haluan. Di dunia bisnis, cara ini dapat dilakukan jika bisnis yang ada, tidak lagi bisa diotak-atik atau dimodifikasi, maka solusinya adalah harus berani putar haluan atau mematikan produk yang sudah dimiliki. Contohnya PT. Telkom yang selalu berani untuk mematikan atau mengkanibalisasi produknya sendiri seperti telepon kabel yang diganti dengan nir-kabel dll. Memutar haluan membutuhkan perjuangan yang besar, tinggal pelakunya berkehendak atau tidak.
6.    Partnership (Kemitraan/Kerjasama)
Cara menghadapi era disrupsi yang keenam yaitu melakukan strategi partnership. Era disrupsi pada masa ini membuat bidang, tidak hanya bisnis sulit untuk bertempur sendiri karena persaingan sudah sangat kompleks dan proses bisnis sudah terinklusi. Oleh karena itu salah satub solusinya adalah dengan melakukan kolaborasi dan kerjasama strategis mulai dari sisi input sampai output dalam supply chain agar (bisnis) menjadi lebih efektif dan efisien. Dalam konteks Balai Pemdes Yogyakarta, strategi ini dapat dilakukan baik dengan berkolaborasi dengan pusat (sudah semestinya dan sudah terjadi, tinggal terus dimantapkan), maupun bisa berkolaborasi dengan institusi pendidikan, lembaga non pemerintah yang kompeten di bidangnya, khususnya yang konsen dengan dinamika yang terjadi di desa.
7.    Change Management (Perubahan Manajemen)
Cara menghadapi era disrupsi yang terakhir adalah dengan melakukan change management. Hal ini dapat dilakukan untuk merubah mindset/pola pikir dan kesadaran dari elemen sumber daya manusia dalam organisasi agar dapat bahu-membahu melakukan perubahan. Karena efek disrupsi itu dapat merubah segala hal tak terkecuali pada budaya organisasi dalam melakukan proses bisnisnya. Oleh karena itu solusinya adalah organisasi harus dapat berubah menyesuaikan budaya organisasi di era disrupsi yang ada.

Pada akhirnya semua itu berpulang pada kita (masing-masing) dalam merespon era disrupsi ini. Seperti apa yang disampaikan Prof. Kasali (2017): “Dan, jika dunia kita sekarang telah berubah, di manakah kita? Masihkah kita hidup pada masa lalu dan bertengkar? Change your mindset before you change others! Sebenarnya, masalah kita ada di benak kita sendiri”. Sebagai ASN sekaligus warga negara yang baik, kita harus berpartisipasi dengan terbiasa dengan perubahan, yaitu adaptif terhadap perubahan dan jangan alergi dengan perubahan. Semoga…..



Referensi:
Hidayah, Nurdin., 2018, Adaptasi atau Mati!! 7 Cara Bisnis Menghadapi Era Disrupsi. https://pemasaranpariwisata.com/2018/03/09/cara-menghadapi-era-disrupsi/. published: 9 Maret 2018, diakses Kamis, 24 Mei 2018, pukul 11.30 WIB.

Kasali, Rhenald., 2017, Disruption. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.

Ohoitimur, Johanis., 2018, “Disupsi: Tantangan Bagi Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Peluang Bagi Lembaga Pendidikan Tinggi”, RESPONS, Volume 23, Nomor 02, hal. 143-166.

WHO. 2020, Coronavirus disease (Covid-19) Situation Report-125 May 24, 2020 (www.who.int diunduh pada tanggal 25 Mei 2020 pukul 20.51 WIB)

Lasmawan, Wayan., _, Disruption Era dan Dampaknya Bagi Pengembangan Kurikulum, Universitas Pendidikan Ganesha (diunduh pada tanggal 26 Mei 2020 pukul 22.44 WIB)

Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan Covid-19. 2020, Info Grafis COVID-19 (24 Mei 2020), www.covid19.go.id diakses pada tanggal 26 Mei 2020.

Warta Ekonomi, 2019, Apa Itu Chatbot?, www.wartaekonomi.co.id diakses pada tanggal 26 Mei 2020.



Basuki, Titus T., 2018, Era Disrupsi Beradaptasi atau…?!, http://balaipemdesdiy.blogspot.com/ (diakses tanggal 26 Mei 2020)

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

SEJARAH BALAI PEMERINTAHAN DESA DI YOGYAKARTA

Gedung Balai Pemdes di Yogyakarta unit Kusumanegara saat ini (2018) Di era tahun enam puluhan lahir lembaga Transmigrasi, Koperasi, Perekonomian dan Pembangunan Masyarakat Desa (Transkopemada) yang merupakan cikal bakal Balai PMD Yogyakarta. Dalam perjalanannya karena adanya tuntutan kebutuhan masyarakat lembaga tersebut dipecah untuk lebih memfokuskan pada masing -masing tugasnya. Pada Tahun 1965 dengan Kepmendagri Nomor 13 Tahun 1965 dibentuk Kantor Pendidikan dan Pengkaderan PMD bertempat di Yogyakarta, Malang dan Mataram . Atas dukungan dari Departemen Dalam Negeri khusus bidang pembangunan masyarakat desa berdasarkan Kepmendagri Nomor 25 Tahun 1968 Tanggal 9 April 1968 berubah nomenklatur menjadi Balai Penelitian Pengembangan Pembangunan Desa ( L itbang Bangdes) dengan status   eselonering dan merupakan instansi vertikal. Tugas pokoknya di bidang penelitian dan pengembangan pembangunan masyarakat desa. Pada pertengahan tahun 1987 Balai Litbang Bangdes berubah

Profil Seksi PKKD Balai Pemdes Di Yogyakarta

PROFIL SEKSI PELATIHAN KELEMBAGAAN DAN KERJASAMA DESA BALAI PEMERINTAHAN DESA DI YOGYAKARTA Dalam rangka meningkatkan kapasitas aparatur pemerintahan desa, Kementerian Dalam Negeri telah menetapkan UPT (Unit Pelaksana Teknis) yang diberi tugas untuk menyelenggarakan pelatihan di bidang Pemerintahan Desa bagi Kepala Desa, perangkat Desa, Badan Permusyawaratan Desa, Lembaga Kemasyarakatan Desa, dan Lembaga Adat Desa. Balai Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri sebagai UPT Kementerian Dalam Negeri ini berada di bawah pembinaan dan bertanggungjawab kepada Direktur Jenderal Bina Pemerintahan Desa. Balai Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri yang selanjutnya disebut Balai Pemerintahan Desa ini terdiri dari 3 (tiga) Balai, yakni Balai Besar Pemerintahan Desa di Malang serta Balai Pemerintahan Desa di Yogyakarta dan di Lampung. Balai Pemerintahan Desa di Yogyakarta, terdiri atas: a)     Subbagian Tata Usaha; b)    Seksi Pelatihan Penataan dan Administrasi Pemerintah